Menunda Kegagalan Berkebun dengan “Lasagna Bed"
Mari kilas balik ke pertengahan tahun lalu. Saat itu, pandemi COVID-19 di Indonesia masih berumur sekitar tiga bulan. Pada mulanya saya coba terus mengikuti perkembangan dan percakapan tentang wabah Corona. Namun lama-lama membosankan, apalagi di rumah ritme hidup terasa itu-itu saja: bangun, membalas chat, membuka laptop, nongkrong di Warung Seblak Bi Titim, mandi, makan, membuka laptop, mengusili keponakan, lalu nongkrong malam hari di pos ronda. Begitu terus dari hari ke hari.
Sementara di luar sana, orang-orang pun mulai membicarakan kemungkinan dampak lain selain ekonomi dan kesehatan dari mewabahnya virus Corona yakni dampak psikis. Bagi saya yang cukup jarang berada di rumah, kondisi semacam ini jelas memberatkan. Alhasil saya pun coba menyiasati kebosanan dengan berkebun di rumah. Tidak berhasil memang, namun itu cukup bisa menjadi pelarian dari hasrat menggebu-gebu saya untuk tidak melakukan apa-apa. Hahaha.
Sudah tentu berkebun saya asal-asalan, karena hanya bermodal kuota dan sedikit biaya untuk memulai (lihat ini). Lagi pula, saya memang tidak punya pengalaman apa-apa soal dunia tanaman, praktik bertanam, apalagi soal nutrisi tanaman. Poin ini sudah berulang kali saya dengar dari orang-orang yang melihat saya duduk menekuri tanaman. Sesekali saya memang pernah membaca soal tanaman di buku atau internet. Tapi jelas itu saja tidak cukup. Sebab untuk sekadar berkebun di rumah dengan medium pot sekalipun, ternyata itu membutuhkan kecermatan, kesabaran, dan keberuntungan. Dan itu semua tidak ada dalam diri saya. Lewat satu tahun sejak memulai aktivitas berkebun di rumah, ternyata saya masih harus berlapang dada menyambut kegagalan demi kegagalan.
Sebenarnya dorongan untuk menyerah dan berhenti berkebun selalu hadir. Namun sampai saat ini saya masih coba bertahan. Bukan karena ingin terlihat pantang menyerah, tapi lebih karena ingin terlihat “ada kerjaan”. Beruntung sekitar tiga bulan yang lalu, saya sempat membaca satu metode berkebun yang cukup menarik (lihat ini). Metode tersebut bernama “Lasagna Bed” dan lazim dibicarakan di dunia permakultur. Logika utamanya ialah mencoba kembali memuliakan tanah dengan mempersiapkan nutrisi sejak awal. Kurang lebih begitu dan bisa dipelajari lebih lanjut dengan cara mengetik “Lasagna Bed” di Google.
Ada satu alasan mengapa saya tertarik dengan metode ini. Tidak lain karena metode ini menawarkan janji untuk memperkecil energi yang harus saya lakukan ketika berkebun. Karena dengan metode “Lasagna Bed”, tanah tempat di mana tanaman berada sudah kaya akan nutrisi sehingga nyaris tidak perlu lagi diberi pupuk. Dengan kata lain, waktu yang sebelumnya harus dicurahkan untuk memberi pupuk dapat digantikan untuk, misalnya, menyimak secara serius kecanggihan netizen di kolom komentar Youtube.
Saya memulai berkebun ala “Lasagna Bed” dengan meminta wadah kayu ke jongko pedagang buah-buahan (Nomor 1, Gambar 1). “Bawa weh da geus teu kapake oge” kata si pedagang. Saya pun lekas membawanya pulang dan mulai masuk ke tahap selanjutnya yakni melapisi permukaan bawah wadah dengan kardus bekas (Nomor 2, Gambar 1). Kardus harus dipotong sesuai luas lantai wadah dan sebisa mungkin untuk tidak menyisakan lubang. Apalagi fungsi si kardus memang untuk menjaga kelembapan.
Setelah kardus siap, proses berkebun bisa dilanjutkan dengan menyimpan potongan ranting (kecil, besar) dan daun kering di atas permukaan kardus (Nomor 1, Gambar 2). Daun kering saya dapat dari hasil guguran daun pohon mangga di depan rumah. Sementara ranting saya dapatkan dari hasil memulung di tempat X (Nomor 3, Gambar 1). Ranting berfungsi sebagai penyedia rongga untuk sirkulasi dan daun kering berfungsi sebagai pemasok karbon yang dibutuhkan tanaman. Katanya sih demikian.
Lapisan berikutnya (Nomor 2, Gambar 2) adalah sisa makanan (organik tentu saja) dan/atau sisa bahan dapur. Saya mendapat bahan-bahan ini gratis dari rumah, setelah terlebih dahulu berkoordinasi dengan Ibu. Sisa makanan/bahan dapur tersebut berfungsi sebagai penyuplai nitrogen dan sekaligus nutrisi bagi tanaman itu sendiri. Tidak heran jika lapisan keempat atau lapisan di atasnya adalah kompos (Nomor 3, Gambar 2). Lapisan ini (kompos) berfungsi sebagai mikroorganisme untuk mengolah dan memasak sisa bahan dapur tadi menjadi nutrisi tanaman.
Setelah menumpuk lapisan 2 (daun kering), lapisan 3 (sisa bahan dapur), dan lapisan 4 (kompos), langkah selanjutnya adalah mengulang 3 lapisan tersebut. Menurut beberapa sumber, dalam metode “Lasagna Bed”, lapisan 2, 3, dan 4 memang harus diulang paling tidak sebanyak dua kali. Karena keterbatasan pengetahuan, saya pun manut saja: kembali menyebar daun kering, menumpuknya dengan sisa makanan/bahan dapur, lalu menutupnya dengan kompos. Setelah itu baru kemudian lapisan 8 atau media tanam (campuran tanah, pupuk kandang, dan sekam bakar) mengambil peran (Nomor 1, Gambar 3). Ini menjadi lapisan paling atas dan menjadi tempat di mana akar tanaman tertancap.
Saya melakukan ujicoba metode “Lasagna Bed” ini pada tanaman cengek atau cabai (Nomor 2, Gambar 3). Perlu diketahui, tanaman ini sudah saya coba berulang kali sejak mulai berkebun satu tahun yang lalu. Dua metode menyemai, membibit, dan menanam cengek pun sudah saya lakukan yakni secara hidroponik (menggunakan botol bekas) dan secara konvensional di polybag. Hasilnya? Tentu saja gagal. Dan tidak menutup kemungkinan pula bahwa akhir cerita tanaman cengek dalam “Lasagna Bed” pun akan begitu: berteman dengan kegagalan.
Saya mulai berkebun cengek ala “Lasagna Bed” sejak tanggal 17 Mei 2021. Sampai saat ini (30/5/2021) tanaman masih relatif terlihat baik. Pertumbuhan cabang daun pun cukup pesat, terutama setelah dilakukan prosesi “potong pucuk” seperti yang dianjurkan para suhu di Youtube. Meski dengan metode “Lasagna Bed” nyaris tidak lagi membutuhkan pupuk, saya tetap saja memberi asupan nutrisi dari luar. Dua nutrisi yang rutin saya suntikan ke dalam tanah adalah air hasil blender bawang (merah dan putih) dan air campuran garam Inggris dan pecin. Ilmu ini juga saya dapat dari guru di dunia maya. Katanya, air bawang bagus untuk merangsang akar dan air garam plus pecin bagus untuk pertumbuhan daun. Apakah benar demikian? Saya pun tidak bisa memastikan.
Sejauh ini pertumbuhan cengek di “Lasagna Bed" memang tergolong bagus. Tapi hal itu tidak cukup untuk membuat saya berkawan baik dengan keberhasilan. Tetap saja ada kecurigaan bahwa dengan metode ini pun yang akan saya tuai hanya kegagalan. Karena itu, tinimbang berharap keberhasilan, saya justru menukik dengan menganggap proses ini sebagai upaya kecil menunda kegagalan. Kenapa perlu ditunda? Apabila kegagalan memang keniscayaan bagi orang yang berkebun tanpa pengalaman, maka menunda kegagalan adalah bentuk kecil pembangkangan dan sekaligus upaya terlihat “ada kerjaan” hahaha.