“Jangan” Kangkung

Bagas Yusuf Kausan
10 min readJun 3, 2020

--

Oleh Bagas Yusuf Kausan

Jangan Kangkung, Gas. Jangan Kangkung”, ujar Sapingi.

Kejadian itu terjadi sewaktu umur saya masih belasan tahun. Saat saya berkunjung ke tempat kelahiran Bapak di Kebumen, Jawa Tengah. Dan saya berulang kali bertanya, “Kenapa? Kan kangkung enak. Kok nggak boleh? Sapingi mengulang lagi, “Iya itu Jangan Kangkung, Gas. Jangan Kangkung”.

Tidak ada orang selain kami berdua. Semua orang ada di satu titik kumpul: rumah Mbah. Sementara kejadian itu berlangsung di rumah orang tua Sapingi, Lik Marmin — adik Bapak. Sepulang meledakkan mercon (petasan), Sapingi mengajak saya makan di rumahnya. Dia bergegas mengambil piring, menuangkan nasi, dan berjalan ke dapur. Saya pun mengikuti.

Di depan tungku tempat wajan berisi kangkung itu berada, Sapingi mengucap perkataan itu. Saya menjawab dan dia mengulang perkataannya. Begitu terus. Karena merasa kesal, saya pun tidak menghiraukan lagi. Dan bergegas mengambil kangkung dari wajan lalu menyantapnya. Sapingi pun tidak bergeming. Sesekali dia hanya terlihat menahan tawa.

Belasan tahun kemudian saya paham. Dahulu Sapingi menjahili saya karena tidak mengerti bahasa Jawa. Hal itu saya sadari setelah hidup di Semarang, kuliah. Saat itu kosa kata seperti “Jangan”, sayur, makin akrab di telinga. Begitupula dengan bahasa Jawa yang lain. Bahkan, terkadang, hingga membuat saya kelewat percaya diri.

Kulo jangan kangkung, kering tempe, karo es teh siji. Pinten nggih Bu?”, ucap saya pada Ibu Warteg.

Mungkin benar apa kata orang. Pandemi Covid-19 bisa mendorong seseorang untuk mengerjakan hal baru. Seperti, misalnya: lebih rajin sholat karena terpaksa berdiam di rumah; lebih membiasakan memasak makanan sendiri; lebih intens berkomunikasi dengan tetangga; dan lain sebagainya. Hal serupa terjadi pada saya. Pandemi memantik saya untuk melakukan hal baru. Dalam bentuk, salah satunya, bercocok tanam.

Sudah sejak pertengahan bulan April saya mencoba. Dengan cara, pertama-tama, menonton sebanyak mungkin kanal Youtube soal tanaman/pertanian. Terutama tanaman yang memenuhi tiga kriteria berikut: (1) tidak ribet. Alias tidak terlalu banyak menguras dompet dan tenaga; (2) masa pertumbuhan cepat. Terutama agar saya bisa lebih cepat melakukan evaluasi; (3) dekat dengan keseharian. Dalam arti, bisa langsung dimasak tanpa proses lebih lanjut dan bisa digunakan sebagai bumbu dapur.

Semacam-silabus. Sumber: Tangkapan Layar fitur catatan di ponsel saya

Buah keisengan menonton Youtube adalah semacam-silabus. Pada awalnya, saya benar-benar meniru plek apa yang dianjurkan guru dari dunia maya tersebut. Dari mulai tahapan, media yang digunakan, hingga rentang waktu saat memberi perlakukan khusus. Namun seiring berjalannya waktu, ada beberapa hal yang saya bedakan. Terutama setelah berdiskusi intens dengan dua orang tetangga di rumah. Pertama, dengan Mang Agus Suga. Dia senang bercocok tanam dan telah sukses mengaktivasi jembatan dekat rumah untuk dipenuhi aneka tanaman. Kedua, dengan Rio Itong. Dia teman sebaya yang terlibat sejak awal dalam kegiatan ini.

Ada beberapa jenis tanaman/pertanian yang sudah dan sedang diujicoba. Mulai dari cengek/cabai, bawang putih, bawang merah, bawang daun, seledri, kangkung, jahe, kacang kedelai, dan melon. Dua jenis yang terakhir merupakan hasil pembibitan Rio Itong. Dan hanya kangkung yang tidak disemai sendiri dari sisa bahan dapur. Semua tanaman masih diujicoba dalam skala yang sangat kecil. Dalam arti hanya di beberapa polybag, ember bekas, dan botol bekas. Ada dua media tanam yang digunakan yakni: air (hidroponik) dan tanah. Terkecuali melon, kangkung, dan jahe, jenis lain coba diaplikasikan dalam dua media tanam sekaligus. Dan baru kangkung yang mulai menunjukkan hasil.

Menanam dan Memasak Kangkung

Bibit kangkung saya dapat dari dua sumber. Pertama, pemberian dari seorang kawan bernama Garbi. Kedua, dari kantor LBH Bandung. Seluruh bibit kangkung mulai ditanam pada tanggal 26 & 27 April 2020. Dengan teknik hidroponik sederhana. Beberapa alat yang digunakan adalah ember bekas es krim, keranjang, kain flanel, dan air bersih. Tiga komponen saya dapat dari rumah sendiri. Dua komponen lain, keranjang dan kain flanel, saya beli dari luar. Karena itulah saya perlu mengeluarkan sekitar 25 ribu rupiah sebagai modal.

Kangkung umur 3 & 4hari. Dan kain berwarna hijau itulah yang disebut kain flanel. Berfungsi mempercepat penyerapan air.

Cara menanam kangkung termasuk mudah. Pertama adalah menggunting kain flanel sesuai bentuk keranjang. Menurut salah satu Guru di Youtube, tidak menggunakan kain flanel pun tidak masalah. Bahkan bisa pula diganti dengan kain jenis lain. Setelah itu, sebar bibit ke seluruh permukaan kain secara merata. Kemudian siram menggunkan air secukupnya. Jika tahapan itu sudah dilakukan, maka tinggal mengisi ember bekas dengan air hingga kain flanel sedikit terendam. Terakhir, agar menjaga kelembaban dan mempercepat pertumbuhan tunas, tutup keranjang menggunakan kain atau karung yang sudah dibasahi.

Kangkung termasuk tanaman yang relatif cepat pertumbuhannya. Sekitar 25–30 hari. Bahkan mungkin bisa lebih cepat lagi yaitu 21 hari sampai panen pertama. Pada umur ke dua minggu biasanya kangkung sudah mengeluarkan banyak akar. Oleh karena itu beberapa Guru menyarankan untuk menggunakan cairan AB Mix sebagai nutrisi. Secara sederhana, carian AB Mix adalah larutan campuran antara pupuk A dengan pupuk B. Unsur utama pupuk A adalah kalium. Sementara unsur pupuk B adalah sulfat dan fosfat. Kandungan kedua pupuk itulah yang digunakan sebagai nutrisi bagi tanaman kangkung. Bahkan bagi tanaman hidroponik lainnya.

Kangkung umur 2 minggu. Terlihat akar-akar mulai menerobos ke bawah.

Saya membeli cairan AB Mix seharga 15ribu rupiah. Sebenarnya di Youtube ada banyak yang memberi pelajaran gratis membuat AB Mix sendiri. Atau, dalam bahasa kerennya, do it yourself (DIY). Harganya tentu akan jauh lebih murah. Bahkan bisa dalam wujud yang lebih ‘organik’. Namun karena satu-dua hal, saya belum bisa mengikuti itu. Dan jika membeli di toko pertanian, bentuk AB Mix umumnya padat seperti kristal. Maka perlu dilarutkan. Menurut tuturan beberapa guru, cairan A dan cairan B tidak boleh langsung dicampur dalam satu tempat. Namun perlu diperantarai oleh air. Rumus umumnya adalah sebagai berikut: 800 ppm AB Mix = 2 liter air + 10 ml cairan A + 10 ml cairan B. Satu paket nutrisi AB Mix bisa menghasilkan sekitar 750 ml cairan A dan B. Dengan demikian, cairan AB Mix bisa dipake berulang-ulang.

Pertumbuhan kangkung setelah diberi nutrisi AB Mix memang pesat. Namun persis di situ awal mula persoalan yang saya temukan. Pertama, saya salah menggunakan ember bekas es krim. Karena miliki ruang yang terlalu dalam, maka kebutuhan air dan nutrisi AB Mix pun cukup besar. Bisa menghabiskan sekitar 5 liter air. Kedua, menyimpan bibit terlalu berdekatan. Hal itu membuat pertumbuhan kangkung terhambat. Karena, menurut versi Ibu saya, terlalu eungap, sesak. Sementara menurut Andini, membuat masing-masing benih saling berebut ruang hidup, berebut nutrisi. Alhasil pertumbuhan batang kangkung pun tidak maksimal. Maka tidak heran jika batang melengkung karena tidak kuat menahan bebannya sendiri.

A adalah tinggi ember bekas es krim. B adalah tinggi keranjang. Maka C adalah ruang yang terisi air/nutrisi AB Mix.

Persoalan ketiga dan keempat, berpusar pada kesalahan saya menyimpan kangkung hidroponik tersebut. Pada awalnya saya berpikir bahwa tanaman kangkung, perlu ditempatkan di ruang terbuka. Asumsinya agar dapat menyerap sinar matahari secara maksimal. Namun persoalanya ini masih musim hujan. Membiarkan kangkung di ruang terbuka sama dengan membiarkan air hujan masuk ke dalam ember. Bahkan hingga melebihi kapasitas. Akhirnya banyak bibit yang morat marit ke sana kemari, rusak.

Dan terakhir, keempat, kesalahan menyimpan langsung wadah di tanah. Persoalan ini mengemuka, terutama, setelah saya melihat sendiri ayam dan kucing memakan daun dan batang kangkung. Dan tentu saja hewan-hewan itu tidak salah. Mereka memang biasa berkeliaran di sekitar lokasi. Lagi pula karena posisi wadah berada di tanah, mereka pun akhirnya bisa menjangkaunya. Mensiasati persoalan itu, saya pun iseng membuat meja sederhana menggunakan kayu sisa bangunan. Dan beruntung banyak kawan-kawan rumah yang bersumbangsih dalam proses pembuatannya.

Meja sederhana untuk menyimpan tanaman

Nahas. Meski sudah berumur lebih dari 30 hari, tanaman kangkung belum menunjukkan kondisi layak panen. Batang masih kurus. Bahkan cenderung tumbuh merambat ke samping alih-alih tegak lurus. Jumlah daun pun tidak renceum, banyak. Namun dengan pertimbangan karena masih eksperimen, uji coba, maka saya berteguh hati: kangkung ini harus dipanen. Akhirnya, persis pada hari kelahiran Pancasila — 01 Juni kemarin (wkwkwk padahal kebetulan aja), prosesi panen saya lakukan.

Menurut Guru di Youtube, ada dua cara memanen kangkung. Pertama, mencabut kangkung hingga akarnya. Kedua, hanya memotong bagian batang. Cara kedua lebih disarankan. Sebab, kangkung dapat tumbuh kembali dan bisa dipanen lagi. Dan saya pun menggunakan cara kedua. Meski sempat terbesit untuk mengulang lagi proses menanam kangkung dari awal. Terutama jika mengingat kurang sehatnya pertumbuhan kangkung yang saya tanam.

Seperti yang nanam, kangkung ini pun ikut cungkring, kurus.

Saya dan kawan-kawan rumah punya satu kebiasaan rutin. Paling tidak satu bulan sekali yakni: ngaliwet. Sebuah kegiatan masak dan makan bersama di ruang terbuka. Berlangsung di jalanan perkampungan kami atau di lapangan. Dalam prosesnya masing-masing orang udunan, urunan. Bisa dalam bentuk uang atau barang yang dibawa dari rumah masing-masing. Dan inilah yang menjadi salah satu motivasi menanam kangkung. Setidaknya itu poin percakapan saya, Rio, dan beberapa kawan lainnya. Bahwa suatu saat, ingin sekali rasanya bisa ngaliwet, dengan lauk kangkung, namun hasil tanam sendiri. Dan keinginan tersebut belum terlaksana.

Hasil panen kangkung sangat sedikit. Tidak masuk akal jika digunakan sebagai lauk untuk ngaliwet. Pasalnya, peserta ngaliwet nyaris selalu di atas 10 orang. Otomatis itu tidak cukup. Akhirnya saya pun memutuskan memasak dan memakan sendiri kangkung hasil panen. Dalam proses memasak, Guru di dunia maya, Cookpad, cukup banyak membantu. Terutama soal resep. Dan Guru memasak di dunia nyata, Ibu, banyak membantu soal rasa. Termasuk memberi penjelasan mengapa, demi rasa masakan yang segar, porsi bawang merah harus lebih banyak dibanding bawang putih. Dan seterusnya.

Karena batang kurus dan minim daun, maka perlu ditambahkan potongan tahu. Minimal, agar tampak lebih banyak.

Proses memasak pun dimulai. Pertama-tama dengan cara mengelompokan bahan-bahan yang akan digunakan. Asal aja. Tidak ada aturan baku soal pengelompokan bahan makanan seperti ini. Dan kelompok pertama adalah tiga siung bawang merah, dua siung bawang putih, tiga buah cengek, dua helai bawang daun, dan sedikit potongan bawang bombay. Kelompok kedua adalah garam, pecin, penyedap rasa, dan sedikit gula pasir. Sementara kelompok ketiga adalah kangkung, potongan tahu goreng, dan air secukupnya. Terakhir, kelompok keempat, adalah wajan, minyak, spatula, dan tentu saja, kompor.

Jika minyak sudah panas, itu berarti kelompok empat telah siap. Maka bahan-bahan dari kelompok pertama yang sudah diiris-iris bisa langsung disatukan, dimasukan ke dalam wajan. Tunggu hingga matang dan mulai mengeluarkan aroma. Lalu mulai masukan bahan-bahan dari kelompok ketiga. Bisa dilanjutkan dengan memasukan bahan-bahan dari kelompok kedua. Secukupnya saja. Sesuaikan dengan selera. Dan tidak perlu dimasak terlalu lama. Jika sudah yowman dengan rasanya, maka prosesi memasak bisa dihentikan. Cah kangkung pun bisa dipindahkan ke wadah lain seperti mangkok, misalnya. Setelah itu masakan pun resmi dihidangkan.

Sempat terpikir untuk tidak menggunakan nasi. Namun karena memang belum makan, maka nasi adalah pilihan. Indonesia bro!

Ada satu hal yang kurang yaitu: kerupuk. Makin dewasa, makin sulit rasanya makan tanpa ditemani kerupuk. Akhirnya meski tanpa kerupuk, kangkung tetap berusaha saya nikmati. Walau jujur. Bahkan dengan kerupuk sekalipun, rasanya itu tidak akan banyak membantu. Bahwa rasa sayur kangkung buatan saya amat biasa saja. Masih sangat jauh dari rasa kangkung buatan Ibu. Saya pun berani menduga; dari warteg saja pasti kalah. Begitu pula dari segi tampilan: sungguh meragukan karena batang kurus dan minim daun. Masih beruntung ada potongan tahu. Sehingga bisa menciptakan kesan lebih enak. Meski lagi-lagi, soal rasa tidak bisa disembunyikan: biasa saja. Tapi apa daya, kangkung harus tetap habis. Meski harus dengan, katakanlah, perasaan terpaksa.

Candaan Sapingi belasan tahun kembali terngiang-ngiang. Dalam arti: “Jangan (menanam dan memasak)kangkung, Gas. Jangan (menanam dan memasak) kangkung”. Dan bisa jadi, maksud ‘jangan’ dalam konteks itu memang merujuk pada kata ‘jangan’ dalam Bahasa Indonesia: sebuah kata yang menyatakan melarang, berarti tidak boleh; hendaknya tidak usah. Bukan merujuk pada bahasa Jawa yang berarti sayur, lauk.

Seolah, dari masa lalu, Sapingi sedang berbisik bahwa saya tidak bisa menanam kangkung. Toh, buktinya kangkung tumbuh tidak sehat, berbatang kecil, minim tumbuh daun, dan seterusnya. Dia sekaligus mewanti-wanti bahwa saya juga tidak bisa memasak kangkung. Toh, lidah sendiri saja mengakui soal rasa yang biasa saja. Lengkap dengan tampilan kangkung yang juga tidak menarik. Dan justru lebih mirip sayur eceng timbang kangkung.

Saya nyaris percaya betul bahwa tafsir candaan Sapingi pada masa kini memang ke situ. Dan perasaan gagal bercocok tanam semakin memperkuat itu. Pasalnya, berulang kali saya menanam bawang daun. Namun selalu berakhir tragis: mati. Begitupula dengan seledri. Kasus cengek lebih konyol lagi. Tanaman mati karena terinjak kucing. Dan itu karena faktor kelalaian saya membaca situasi: di perkampungan rumah minim tanah lapang. Jika pun ada sudah tidak murni beralas tanah, tapi paping blok. Maka masuk akal bagi si kucing untuk menjadikan tanah gembur di dalam polybag sebagai tanah untuk mengubur podol, tai. Dan berujung hingga pada kasus kangkung.

Setelah panen saya beberapa kali kembali membuka Youtube. Namun semakin menonton, rasanya justru semakin dongkol. Di Youtube kangkung tumbuh ke atas dengan batang yang besar, kokoh. Sementara kangkung hasil tanam saya berparas menyedihkan: batang kurus dan melengkung tidak karuan. Singkatnya: gagal.

Kondisi kalut semacam itu baru mereda setelah membaca komentar Andini:

Tangkapan layar percakapan dengan Andini. Sudah diizinkan pula olehnya untuk ditampilkan di sini.

Komentar tersebut menarik karena dua hal berikut. Pertama, komentar tersebut membuka jalan, cara, untuk menyembunyikan kegagalan dengan menggunakan satu istilah baru: Microgreens. Kini batang kecil dan daun minim jadi bukan persoalan. Namun justru jadi gagasan pokoknya. Kedua, menyingkap persoalan tanam-menanam di perkampungan. Kurang lebih bisa membuka alur seperti ini: tidak perlu menunggu momen ngaliwet, langsung saja petik untuk kebutuhan harian. Siapa saja boleh. Dengan catatan perlu melakukan penambahan orang dan lokasi tanam. Dengan sendirinya, maka akan membutuhkan lebih banyak wadah (tidak harus ember bekas es krim), keranjang, bibit, dan juga air/nutrisi.

Jika bisa begitu maka candaan Sapingi tidak akan lagi relevan. Bukan hanya hari ini saja. Tapi untuk selama-lamanya.

--

--