Siasat Ampera

Bagas Yusuf Kausan
8 min readMar 27, 2022

--

Ampera. Tentu saja, maksudnya bukan “Ampera” pada konteks nama kabinet di pengujung pemerintahan Soekarno tahun 1966, kabinet Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Bukan pula soal nama jembatan di Palembang yang tersohor, Jembatan Ampera. Apalagi menyangkut nama sosok politikus dari partai banteng jedag-jedug, Kapitra Ampera. Bukan. Ampera yang kami–saya dan Andini–maksud di sini bukan itu. Tapi nama sebuah Warung Nasi (WN) di Bandung, WN Ampera.

WN Ampera sudah beroperasi sejak 1960an. Mungkin bersamaan dengan berlangsungnya kabinet “Ampera”. Dahulu, kata orang di internet, yang dominan menjadi konsumen WN Ampera ialah rakyat jelata. Apalagi lokasi awal WN Ampera memang di daerah terminal; banyak tukang becak, supir angkutan, dan lain-lain. Namun kini, kata diri saya sendiri, WN Ampera telah berubah; sekarang lebih berorientasi rumah makan keluarga yang didominasi oleh keluarga-yang-tidak-begitu-jelata. Dan kami adalah salah-dua di antaranya.

Saya sudah beberapa kali makan di WN Ampera. Begitu pula dengan Andini. Namun, meski WN Ampera sudah beroperasi sejak lama dan kami sudah beberapa kali berkunjung ke sana, baru pada awal 2022 kami merasa WN Ampera begitu istimewa. Mengapa?

Beruntung. Meski tidak begitu sering, toh saya tetap hoki karena punya kesempatan mengisi acara diskusi. Tentu saja, ada banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang didapat dari proses itu. Namun persis saat mengisi diskusi saya acap merasa grogi, bahkan sampai saat ini. Rasa grogi itu seringnya mewujud dalam bentuk nafas memberat, suara mengecil, dan gemetaran tiada henti. Nahasnya lagi, itu tidak hanya berlaku untuk diskusi offline, melainkan juga online. Jika sudah grogi begitu, yang saya lakukan, biasanya, mengentakkan kaki sebanyak tiga kali ke tanah.

Adalah Mamah (Ibu) saya yang pertama memberi tahu soal mengentakkan kaki ke tanah. Katanya, suatu kali, “kalo merasa takut, mengentakkan kaki ke tanah aja. Nanti bakal dibantu karuhun (leluhur, dalam perspektif orang Sunda).” Mula-mula saya tidak percaya, tapi lama-lama apa daya: rasanya, memang hanya itu yang bisa saya lakukan. Walaupun, saya yakin, ada banyak orang yang menganggap prosesi mengentakkan kaki ke tanah itu sebagai tindakan tidak rasional (irasional). Tapi jika dipikir-pikir lagi, kenapa juga tindakan manusia di dunia seolah (hanya) terbagi dua: yang rasional dan irasional? Apakah tidak bisa menjadi manusia yang rasional dan irasional sekaligus? Apakah dunia memang se-biner (serba dua sisi) itu?

Faktanya, di banyak kesempatan, saya justru sering merasa nasihat Mamah memang jitu. Percaya atau tidak, mengentakkan kaki ke tanah ampuh mengusir rasa grogi dan takut yang menggerayangi hampir sekujur tubuh. Semacam efek placebo? Mungkin juga. Sampai saat ini, saya belum punya penjelasan kuat mengapa itu bisa manjur. Yang jelas, saya beruntung; mengentakkan kaki kembali terbukti di WN Ampera, 04 Januari 2022.

Istimewa. Kami sudah terbiasa saling mengunjungi rumah masing-masing; Andini berkunjung ke rumah saya dan begitu pun sebaliknya. Hal demikian bisa terjadi bukan semata karena kami tinggal di kota, tapi (mungkin) karena kami sudah berhubungan lama (?) dan karena kultur keluarga (?). Intinya, kami sudah saling mengenal masing-masing keluarga meskipun, tentu saja, itu baru keluarga inti atau lingkup terkecilnya. Bahkan, keluarga inti masing-masing dari kami pun sudah pernah bertemu secara tidak sengaja.

Namun tetap saja pertemuan di WN Ampera terasa istimewa. Bukan karena itu terhelat di WN berorientasi keluarga. Bukan pula karena masakannya kaya akan cita rasa khas Sunda. Tapi lebih karena untuk pertama kalinya, keluarga kami bertemu dalam satu agenda yang tidak biasa. Pertemuan tersebut lebih dari sekadar acara makan malam bersama, tapi spesifik untuk membicarakan sebuah agenda.

Karena punya agenda, maka kami pun dituntut untuk mempersiapkan detail pertemuan secara seksama. Ada dua hal yang kami persiapkan; mental dan teknis. Secara teknis, kami perlu menyiapkan tiga bahan pembahasan yang dicetak (print) dan disebarkan untuk masing-masing keluarga. Bahan Pertama berjudul “Rancangan Biaya A&B”, 2 halaman (selanjutnya disingkat Bahan1). Bahan Kedua adalah file “Rundingan Keluarga Bagas-Andini”, 1 halaman (selanjutnya disingkat Bahan2). Dan terakhir, bahan Ketiga, berwujud “moodboard konsep”, sebanyak 4 halaman (selanjutnya disingkat Bahan3).

Bahan1 terdiri dari detail keperluan/kebutuhan, rencana anggaran biaya, dan beberapa catatan untuk pra dan pas pernikahan. Bahan2 berisi poin-poin pokok yang perlu dibahas dan disepakati masing-masing keluarga. Sementara Bahan3 berisi foto-foto terkait konsep pernikahan (dekorasi, baju, tata rias, dan lain-lain) yang kami bayangkan.

Proses awal mengerjakan ketiga bahan itu perlu kami lewati dengan ngobrol santuy-ngalor-ngidul terlebih dahulu. Sering kali obrolan pun terpaksa ditunda, utamanya, ketika kami sama-sama bingung; lebih besar voucher diskon dari Shopee atau Gojek ya? Terlebih, obrolan tersebut memang sering berlangsung dalam suasana santai; sambil ngemil, ngopi, saling clingy, dan sesekali sih, sambil marahan juga.

Meski vibes-nya santai, salah seorang di antara kami biasanya tetap membuka laptop untuk mencatat inti obrolan. Namun jika dibuat persentase, jumlah inti percakapan tersebut pasti kurang 10% dari total pembicaraan ngalor-ngidul itu. Tentu saja itu boros waktu dan boros biaya. Tapi begituah yang terjadi. Dari inti-inti obrolan yang tercatat, baru kemudian dilakukan pembagian tugas. Andini kebagian membuat, menentukan, dan mengumpulkan referensi untuk Bahan3. Sementara saya bertugas mengerjakan Bahan1 dan Bahan2.

Secara mental, ada satu hal pokok yang benar-benar kami, khususnya saya, harus persiapkan: rasa percaya diri. Jujur saja, bagi saya, mempresentasikan ketiga bahan itu di hadapan dua keluarga sangat mendebarkan. Bahkan saya rasa, derajat menegangkannya lebih tinggi dibanding memantik sebuah diskusi. Belakangan Andini juga mengaku; momen itu memang menegangkan. Meski Andini merasa tidak setegang yang saya rasa. “ya lebih menegangkan waktu sidang skripsi sih,” kata Andini.

Tahapan. Umumnya, karena (1) sudah berhubungan lama; dan (2) kedua keluarga sudah saling mengenal, maka sepasang kekasih bakal dituntut naik ke jenjang lebih serius. Kebetulan orientasi seksual kami heteroseksual, sehingga medan kultural dan sosial menuju itu relatif lebih memungkinkan. Berbeda dengan, misalnya, teman-teman yang selain-heteroseksual; medan kultural dan sosial di sini tidak dan/atau belum memungkinkan untuk itu. Bahkan, jangan kan untuk saling mengenal keluarga satu sama lain, untuk muncul ke publik dan menyatakan hubungan mereka pun masih belum aman.

Lazimnya, ada beberapa tahapan menuju apa yang disebut “ke jenjang lebih serius” itu. Setelah saling mengenal dan/atau berpacaran, misalnya ada tahap dodok lawang (kultur Jawa) atau neundeun omong (kultur Sunda). Meski kultur Jawa dan Sunda (ini dua kultur yang relatif lebih bersinggungan dengan kami) punya bahasa yang berbeda, sebenarnya substansinya sama saja. Intinya, pihak laki-laki berkunjung ke kediaman keluarga perempuan. Tujuannya menunjukan keseriusan dan menentukan hari lamaran.

Setelah kami pelajari, tahapan-tahapan itu terlalu berlapis-lapis. Atau, dengan kata lain, ribet. Oleh karena itu, kami bersiasat untuk meniadakan atau meringkas tahapan dodok lawang atau neundeun omong itu. Caranya, langsung mengadakan pertemuan keluarga di tempat netral. Jadi pemilihan WN Ampera sebagai tempat netral itu sebenarnya kebetulan belaka. Tepatnya, kami punya keterbatasan pengetahuan soal tempat yang memadai. Yang ada di kepala kami hanya Ampera dan itulah yang dipilih.

Siasat. Pada dasarnya, semua ini adalah soal siasat di meja panjang Ampera. Di sana sekitar 10an orang duduk lesehan saling berhadap-hadapan. Kami–saya dan Andini–duduk di ujung meja dan menjadi titik sorotan utama. Sebelum duduk lesehan, saya berulang kali menyesap rokok di halaman kecil depan gazebo tempat meja panjang itu berada. Saat itu saya grogi; nafas terasa memberat dan sekujur tubuh gemetaran.

Tidak lama kemudian, Andini memanggil. Mungkin Andini menyadari bahwa saya sedang grogi. Atau mungkin Andini memanggil karena ingin merasakan sensasi grogi bersama-sama? Entah lah. Yang pasti, sebelum bergegas menuju gazobo, saya mematikan rokok dan mengentakkan kaki ke tanah sebanyak tiga kali terlebih dahulu. Prung!

Setelah semua duduk dan siap, kami membagikan bahan pembahasan. Masing-masing orang terlihat serius menyimak apa yang tertulis pada bahan-bahan tersebut. Bersamaan dengan itu, rasa percaya diri mulai bermekaran. Lantas saya pun membuka agenda pertemuan dan Andini menjelaskan rangkaian pertemuan itu. Bahan2 dibahas pertama kali. Teknisnya, kami membacakan bayangan atau pendapat kami terlebih dahulu. Setelah itu baru kami persilakan orang tua atau keluarga untuk menyampaikan bayangan atau pendapatnya.

Memilih teknis seperti itu bukan tanpa alasan. Berhari-hari sebelumnya kami sudah membahas teknis itu bersama-sama. Karena itu, bagi kami, membawa serta bahan1, bahan2, dan bahan3 dalam pertemuan keluarga adalah siasat untuk mengunci percakapan dan sekaligus mendahulukan rencana kami bersama. Sebab, dugaan kami, apabila tidak dibuat siasat semacam itu, maka agenda, konsep, dan lain-lain bakal didominasi orang tua. Itu bukan berarti orang tua tidak diperkenankan menentukan, tapi lebih untuk memberi kami ruang lebih banyak untuk mengekspesikan keinginan.

Dalam praktiknya, tidak semua bayangan dan/atau pendapat kami langsung disepakati orang tua. Muncul beberapa percakapan alot yang bagi kami masuk akal, tapi bagi orang tua tidak. Misalnya, kami sejak awal menyatakan bahwa hendak membiayai sendiri segala proses sejak pra sampai waktu pernikahan. Para orang tua keberatan, karena merasa mereka tetap perlu dilibatkan. Akhirnya negosiasi pun dimulai sampai akhirnya mengerucut pada skema pembiayaan 70:30: 70% dari tabungan kami dan 30% dari orang tua.

Sebenarnya kami pun tidak begitu yakin mampu mengumpulkan uang sebanyak 70% dari total anggaran yang tercantum pada bahan1. Tapi toh kami sudah merencanakan, mengeksekusi, dan terus berupaya untuk itu sejak lama. Jadi, kami pikir, yang rasional adalah tetap berusaha mengupayakannya dengan sekuat tenaga. Apalagi, kami pun tidak tahu akan seperti apa dan bagaimana akhirnya. Jadi…. jalani saja dengan riang gembira walau sesekali perlu diimbangi dengan rasa frustasi, pesimis, dan gundah gulana hahaha.

Salah seorang orang tua juga menyoroti tidak adanya prosesi berbasis kesukuan dalam konsep yang kami tawarkan. Dia merasa, prosesi seperti itu tetap perlu ada karena memang sudah begitu dari sananya. Soal ini giliran kami yang keberatan. Sebab, bagi kami, prosesi berbasis kesukuan terlampau ribet. Selain itu, karena ada dua suku (Jawa dan Sunda) yang bersinggungan di antara kami,, maka tidak memilih salah satu adalah jalan terbaik. Sederhana saja; memilih “yang satu”, maka mengorbankan “yang satu” lainnya. Tidak adil.

Satu topik lain yang cukup alot diperbincangkan adalah soal waktu–baik itu waktu lamaran maupun waktu pernikahan. Masing-masing Ibu kami punya bayangan sama: secepatnya. Sementara kami justru sebaliknya: selambatnya. Persis di sini kealotan percakapan benar-benar terjadi. Kami yakin kedua ibu punya alasan masuk akal mengapa lebih baik dilangsungkan secepatnya. Kami tidak menyangsikan alasan mereka. Karena nyatanya, meski kami mungkin punya pandangan atau pengetahuan yang lebih sesuai dengan semangat zaman, fakta tak terbantahkannya adalah mereka sudah punya pengalaman.

Pelan-pelan, kami pun coba mengutarakan alasan mengapa jangan secepatnya. Soal ini, Andini lebih mampu dan jelas dalam menjelaskan alasan-alasan tersebut. Sementara saya, cenderung susah karena kurang mampu mengontrol emosi dan menata bahasa yang lebih ramah untuk orang tua. Dari sini satu fakta lain pun terkuak. Dengan mengentakkan kaki ke tanah terlebih dahulu, saya memang bisa menata keberanian agar lebih percaya diri. Namun ternyata itu saja tidak cukup; setelah menata keberanian, masih ada menata emosi dan tata bahasa. Huh!

Negosiasi soal waktu pun berakhir. Dalam proses negosiasi itu, kami memang seakan ditodong untuk segera menentukan waktu lamaran dan pernikahan sekaligus. Kami–saya dan Andini–berulang kali saling pandang ketika ditodong soal penentuan waktu. Tidak ada cara lain, kami pun kembali bersiasat dengan cara A, B, C, D. Siasat itu berhasil dan kesepakatan waktu yang mencuat di meja panjang Ampera pun jadi bertahap; waktu lamaran dulu, waktu pernikahan kemudian.

Secara keseluruhan, ada siasat yang meleset dan ada yang berhasil. Namun kami tetap beruntung; jumlah siasat yang berhasil lebih banyak daripada yang meleset. Hal ini makin membuat kami memandang pertemuan Januari kemarin itu sangat istimewa. Bukan apa-apa, dari proses pertemuan keluarga-yang-tidak-begitu-jelata di Ampera itu, secara bertahap, sesungguhnya kami sedang belajar: mau bersiasat, tidak sesat di jalan.

--

--

No responses yet