Perjalananku ke Jagat Festival Film Pascakolonial[i]

Apakah kebudayaan merupakan medan terakhir ekspresi pascakolonial? Ketika dunia sibuk bertikai memperebutkan wilayah, seni sibuk memalsukan kehidupan, dan jagat festival film pun menjadi arena konflik milik para sineas dunia. Pengamat senior festival film, Phillip Cheach, mencermati betul fenomena ini secara terus menerus.

Bagas Yusuf Kausan
8 min readMar 8, 2020

Link : bit.ly/Terjemahan2

Penulis : Phillip Cheach

Penerjemah : Andini Meytasari dan Bagas Yusuf Kausan

Beberapa tahun yang lalu, saya pernah berkata kepada seorang kritikus film asal Eropa bahwa festival film, kini merupakan gelanggang pascakolonial. Laki-laki itu pun tidak senang.

Coba Anda bayangkan. Ketika sebuah festival film besar tahunan sedang merencanakan program, sebuah tim sengaja dikirimkan ke berbagai penjuru dunia, ke tempat-tempat yang telah dipetakan sebelumnya. Dalam tim terpilih ini, terdapat beberapa ahli dengan spesialisasi di banyak jenis negeri dan wilayah.

Sebagaimana komentar Edward Said untuk (buku, penj.) Antonio Gramsci; “Saya menyatakan bahwa ini merupakan satu hal terpenting yang saya kutip dari Gramsci… bahwa pemikiran apapun… dapat benar-benar mendunia, yang diorganisir berdasarkan kondisi geografis. Kerangka bepikir Dia (Gramsci) adalah geografi, maka Prison Notebooks merupakan semacam peta moderenitas. Namun bukan tentang sejarah moderenitas, akan tetapi tentang upaya untuk meletakan segala hal, seperti peta militer; maksudnya, di atas sebuah wilayah pasti akan selalu ada pertarungan.

Bagi kita yang berada di Asia, setelah berabad-abad kolonialisme bercokol, kerja keras untuk mendapatkan kemerdekaan pun baru terjadi pada abad ke-20. Tanpa kita sadari, terkadang kemajuan satu langkah justru membawa kita mundur dua langkah.

Hal itu terjadi di ranah kebudayaan. Setiap tahun saya membaca koran Asia. Saya pun bertanya-tanya, mengapa media Filipina sangat heboh ketika film lokal Filipina terpilih dalam (festival film, penj) Cannes. Hal tersebut berlaku pula di Singapura, Thailand, dan di sini, Indonesia. Mungkin, mental inferior kita (bangsa Asia, penj.) memang belum ikut terbebaskan ketika terjadinya kemerdekaan politik.

Pendapat tadi mungkin masuk akal untuk 30 atau 40 tahun yang lalu. Terutama ketika hanya ada beberapa festival film di Asia seperti Southeast Asia Film Festival pada 1950-an dan Pacific Film Festival pada 1960 sampai 1970-an. Itu adalah masa ketika film-film Asia belum memiliki banyak tempat. Tapi lain halnya dengan saat ini. Di kota Seoul saja, ada lebih dari 30 festival film. Bahkan kita sudah sering mendegar bahwa kini semakin banyak festival film yang berkembang di seluruh wilayah Asia Tengah.

Hal ini menjadi ceruk pasar baru yang sangat besar. Seorang distributor film bercerita kepada saya bahwa mereka kewalahan melayani permintaan ratusan festival film di seluruh Asia. Festival film di Asia pun menjadi sumber pemasukan baru (bagi distributor film, penj) untuk mempertontonkan film-film Asia. Sebagai contoh, ketika distributor film asal Prancis menyewakan sebuah film produksi Malaysia untuk dipertontonkan dalam festival film di Filipina, dibutuhkan setidaknya uang sejumlah 800 Euro untuk satu kali pemutaran (screening). Padahal distributor film itu mendapatkan filmnya secara gratis.

Jadi pertanyaan yang harus direnungkan adalah bukankah sama pentingnya jika film-film Asia juga diputar di festival film Asia sendiri?

Sekarang kita tahu jawabannya. Seperti yang ditulis Edward Said dalam buku klasiknya, Orientalisme (1978): “Bagi Barat, diam-diam Asia digambarkan berjarak dan terasing; Orang Islam (Asia) secara agresif memusuhi orang-orang Kristen di Eropa. Untuk mengatasi situasi yang tidak pernah berubah itu, pertama-tama orang Timur perlu untuk dipahami terlebih dahulu, lalu diserang dan dikuasai, kemudian diduduki oleh para cendekiawan, tentara, dan hakim agar orang-orang Timur itu tidak tertarik, tidak peduli, dan melupakan hal-hal seperti bahasa, sejarah, ras, dan budaya. Mereka, orang-orang Barat, bahkan dianggap sebagai orang Timur tulen yang pengetahuannya melampaui orang Timur, sehingga nantinya dapat dijadikan alat untuk memimpin dan menjadi pemerintah dari negara-negara Timur hari ini.”

Berpikir dapat memprediksi penonton film adalah ilusi. Angan-angan itu merupakan warisan kolonialisme dan imperialisme, yang percaya bahwa segelintir orang terpilih dapat lebih memahami kelompok mayoritas, dibanding kelompok itu sendiri. Bahkan hingga mengetahui apa yang baik bagi mereka.

Hal ini terjadi di gelanggang perfilman dunia. Para kritikus (film) Barat telah memetakan dan mendefinisikan perfilman Asia ke sebuah titik simpul; jika film tersebut tidak masuk ‘kriteria tertentu’, maka tidak layak menjadi film ‘kanon”. Akhirnya mereka pun menjadi pakar dalam gelanggang perfileman ini. Dan media, juga institusi lokal yang lain, semakin mempertegas kepercayaan itu.

Saya punya contoh di Sri Lanka. Sudah sejak lama, figur legendaris perfilman di Sri Lanka adalah Lester James Peries, seseorang yang tekun mendefinisikan perfilman di negara itu pada tahun 1950an. Namun ketika Gelombang Baru (perfilman Sri Lanka) muncul pada tahun 1990an, sangat sulit untuk mencari keterkaitannya dari segi gaya sinematik. Pada 2003, Singapore International Film Festival, untuk pertama kalinya, menghelat agenda mengenang Dharmasena Pathiraja. Termasuk, mempertunjukkan karya-karya klasik Dharmasena pada tahun 1970an, yang mengungkap keterkaitannya dengan era Gelombang Baru.

Pada tahun 1960an, Sri Lanka lebih condong ke Blok Timur Soviet. Film-film Sri Lanka pun tidak beredar di negara-negara Blok Barat. Dua tahun lalu (tahun 2009, penj.), Jeonju International Film Festival juga menghelat agenda mengenang Pathiraja. Seorang kritikus asal Perancis pun bertanya: “Siapa itu Dharmasena Pathiraja?”.

Agenda mengenang Pathiraja juga terselenggara dalam acara 4th Jogja-NETPAC Asian Film Festival tahun 2009. Saya ingat ketika seorang kurator film asal Indonesia, mengatakan bahwa; tahun ini ia sangat antusias menonton film-film Pathiraja, yang sangat modern itu.

Pathiraja hanya contoh kecil. Saya sudah mengamati banyak karya sutradara yang dianggap buruk, hanya karena tidak dipilih dan diterima oleh festival-festival film Barat. Hal ini bukan persoalan besar jika media, festival film, dan kritikus film Asia menempatkan (film-film) Timur secara lebih setara.

Tantangan Besar

Salah satu tantangan utama yang dihadapi festival film hari ini adalah bahwa kita dituntut untuk tertarik pada kebudayaan. Persoalannya, banyak festival film besar juga sangat tertarik pada kekuatan kebudayaan. Oleh karena itu, festival-festival besar cenderung menunjukkan kekuasaannya dengan cara memetakan dunia, menafsirkan, dan mendesak apa yang mereka anggap sebagai ‘arah kebudayaan’.

Sebagaimana amatan Edward Said dalam bukunya, Power, Politics and Culture (2001), “jika kamu hendak terjun dalam pertarungan kebenaran dengan cara berpolemik dan jalan yang sangat intelektual, itu sama saja pertarungan tanpa akhir.. Tentu saja, kamu dapat menyikat orang lain; kamu juga bisa langsung menyapu arenanya. Akan tetapi di ranah intelektual, itu tidak akan pernah terjadi..”

Pilihan yang lebih baik adalah dengan membalik ekspresi (kebudayaan) ini. Bahwa, festival film harus hadir untuk mengembalikan kuasa (untuk menentukan arah kebudayaan) kepada negeri asalnya. Oleh karena festival film tertarik pada kebudayaan, maka seharusnya mereka meluangkan lebih banyak waktu untuk mendengarkan suara para sineas lokal.

Kebudayaan dan estetika, sering kali memiliki karakteristik lokal dan global. Namun beberapa aspek kebudayaan lokal dan estetika tidak bisa diterjemahkan secara global. Meski itu bukan berarti tidak bisa sama sekali.

Sebagai contoh adalah karya Sherad Anthony Sanchez, The Woven Stories of The Other (2006). Tidak seperti film perang pada umumnya, Sanchez membawa pandangan pribadi tentang kampung halamannya di Mindanao, Filipina Selatan. Dia menggunakan pandangan itu untuk menceritakan dampak peperangan antara pasukan pemerintah dan pemberontak komunis di daerahnya. Namun, karena dia tidak berkompromi dengan cerita rakyat dan hal-hal detail lain di daerahnya (sebagai contoh, peran kepala suku maupun pendeta perempuan yang secara simbolis digambarkan dengan tangan berdarah dan diperban), film ini tetap sulit dimengerti oleh kebanyakan penonton mancanegara.

Ketika film Filipina telah begitu terkapitalisasi secara tempat, para sineas di sana perlu sama-sama berupaya untuk mendekapitalisasi. Tahun kemarin, dalam Cinemaya Film Festival, sebuah gelombang dari New Regional Filipino Cinema telah muncul. Mereka adalah Halaw (2010) karya Sheron Dayoc, Limbunan (2010) karya Gutierrez Mangansakan II, dan Sheika (2010) karya Arnel Mordoquio.

Pengembangan ini disokong penuh oleh Cinema Rehiyon Film Festival, mulai tahun 2009. Salah satunya atas dorongan dari kritikus film, Teddy Co, untuk mengumpukan dan menunjukkan karya-karya dari berbagai provinsi sekitar Manila. Hasilnya, penonton yang Manila-sentris dan berbahasa Tagalog itu, berkesempatan mendengar dialek dari beragam daerah seperti Ilonggo, Cebuano, Pangasinan, Kapampangan, dan masih banyak lagi.

Salah satu nilai positif dari film-film itu adalah kejujuran dan semangat untuk berbagi. Jika kamu cukup jujur dan percaya kepada film, tidak peduli seberapa aneh dan asingnya film itu, maka satu-satunya alasan yang masuk akal adalah hasrat untuk membagikan pengalaman kepada para penonton.

Tren ini yang tidak berlaku di festival-festival film Barat. Ini sangat lokal dan terlalu sulit dipahami. Dalam banyak kasus, sebuah karya yang dinilai terlalu lokal akan disingkirkan dari budaya film global.

Namun, upaya yang dilakukan kritikus dan sineas lokal itu menunjukkan bahwa di Asia, telah ada perjuangan untuk mencari kesetaraan di tengah hiruk-pikuk perfilman. Beberapa tahun lalu, upaya memperjuangkan kesataraan di tengah kondisi etnis yang beragam, juga mulai berlangsung di Indonesia.

Pada tahun 1991, saya pernah berbincang dengan sineas Indonesia, Garin Nugroho. Dia mengatakan bahwa di bawah rezim Soeharto, satu-satunya yang dimaksud kebudayaan adalah budaya Jawa.

“Tapi bagaimana sih, rasanya jadi orang Indonesia” ujarnya. “Mencoba mengekspresikan identitas di negara dengan banyak sekali pulau, daerah, bahasa, dan etnis itu sangat sulit. Dan film membuat kami menemukan jawabannya. Menjadi Indonesia adalah dengan mendengar isak tangis. Wajah orang Indonesia adalah wajah kepulauan kami. Lihat wajahnya dan kamu dapat mengetahui bangsanya.

“Semua kata-kata klise dari pluralisme dan multikulturalisme dapat dibuat dengan jujur melalui film”. Itu lah yang Garin lakukan di sepanjang karir filmnya. Film-filmnya mencerminkan banyak sekali suara dan wajah orang Indonesia. Dari orang Aceh dalam The Poet (2000) sampai orang Papua dalam Bird Man Tale (2002).

Jika orang-orang Asia berjuang menemukan bentuk kesetaraan budaya dari dalam diri masyarakat mereka sendiri, maka bukan kah seharusnya mereka sadar juga jika kesetaraan itu ada di luar gelanggang (dunia perfilman) Internasional?

Gambaran Besar

Festival film berperan dalam mempromosikan kebudayaan, dengan membawa film-film tersebut ke hadapan penonton mancanegara. Namun hari ini, jika kamu banyak duduk sebagai panitia (festival film Barat), ucapan yang akan sering kamu dengar adalah, “ Aku tidak mengerti film ini dan sepertinya penonton yang lain juga tidak mengerti.”

Lagi-lagi mengutip Edward Said dalam bukunya, Power, Politics, and Culture (2001): “Para intelektual harus berubah, saya pikir dengan, seperti yang dikatakan Julien Benda, rasa keadilan; dan sepertinya ada yang terlewat… apakah kamu tahu, Joseph Conrad pernah berkata bahwa dia berubah dengan gagasan-gagasan yang sangat sederhana. Saya pun merasa demikian. Dalam diskursus dan aktivitas intelektual, seseorang harus bisa terdorong untuk berubah. Namun, berubah bukan kerena gagasan yang muluk-muluk seperti para Habermasian — Kamu tahu, bahwa konsep ‘Ruang Publik’ dan diskursus tentang moderenitas hanya bualan, sejauh yang saya tahu — karena sudah tidak ada pandangan moral dari apa Jurgen Habermas lakukan. Saya pikir pandangan moral harus tetap ada, seperti yang kita temukan dalam Noam Chomsky, Betrand Russel, dan orang-orang seperti mereka. Saya merasa itu satu-satunya harapan…”.

Pada tahun ke 20 saya terlibat dalam festival film, saya mengetahui bahwa mustahil untuk mengetahui apa yang penonton suka dan apa yang mereka tidak mengerti. Memprediksi apa yang diinginkan penonton adalah sebuah ilusi. Ilusi tersebut merupakan warisan kolonialisme dan imprealisme yang mempercayai bahwa segelintir orang dapat lebih memahami kebanyakan orang, dan lebih mengetahui apa yang baik bagi orang kebanyakan itu.

Salah satu nilai positif dari film-film itu adalah kejujuran dan semangat untuk berbagi. Jika kamu cukup jujur dan percaya kepada film, tidak peduli seberapa aneh dan asingnya film itu, maka satu-satunya alasan yang masuk akal adalah hasrat untuk membagikan pengalaman kepada para penonton.

Kita harus mendengar dan kita harus berbagi. Bukan kah begitu cara untuk saling memahami masing-masing kebudayaan? ***

[i]Tulisan ini dipresentasikan pertama kali dalam acara 7th Indonesian Arts Festival pada 14 Oktober 2011 di Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia.

--

--

No responses yet