Membangun Hoaks Lamaran
Apa benar masyarakat hari ini masuk kategori masyarakat citra atau tontonan? Saya tidak tahu dan tidak begitu paham soal itu. Saya hanya sesekali saja baca tulisan orang. Itu pun justru tulisan yang tidak sepemahaman dengan penggagas konsep masyarakat citra, Roland Barthes. Tulisan tersebut bertajuk “Mengapa ‘No Pic’ Harus ‘= Hoax’? (Bagian 11-Selesai)”. Menurut si penulis, Hizkia Yosie Polimpung, hari ini kita belum masuk kategori masyarakat citra. Pasalnya, kita masih kerap membutuhkan caption (judul dan keterangan) dari suatu citraan yang selalu berupa teks.
Fungsi caption memang untuk memenuhi kebutuhan kita. Terutama saat berhadapan dengan ketidakjelasan “makna” dari sebuah citra. Misalnya, kita belum tentu mau langsung membeli produk di Tokopedia tanpa membaca keterangannya terlebih dahulu. Sekali pun citra (foto) dan harga produk tersebut sangat aduhai. Itu artinya, teks caption berperan penting sebagai mediator. Tanpanya, sebuah citra seolah tidak memiliki “makna”. Dan karena itu akan sulit dimengerti atau dipercayai.
Pola berkebalikan justru terjadi pada konteks ”No Pic = Hoax”. Saya cukup sering mendengar kata ini. Misalnya saat mengabari kawan bahwa “Saya sudah sampe di lokasi”. Kawan itu pun membalas, “Wadul ah (Bohong ah). No Pic = Hoax”. Dalam konteks ini, justru gambar yang menjelma menjadi caption. Tanpanya, (citra) teks informasi yang saya sampaikan langsung dianggap Hoax. Namun saat saya melampirkan foto lokasi, kawan tersebut langsung berujar, “Oke Otw. Tungguan nyak”. Dengan begitu, kerja-kerja penyematan caption (gambar, teks) menjadi penting. Dan karena masih penting, maka kita belum masuk fase society of image atau society of spectacle. Tapi benar kah demikian?
Kemarin (12/12/2020) Andini wisuda. Barsamaan dengan itu, Adik Andini, Wiwi, sedang mencicil portofolio pribadinya sebagai fotografer. Sehingga Ia pun menawari Andini untuk sesi foto di sebuah rumah makan. Andini pun setuju dan mengajak saya turut hadir. Sesampai di lokasi, tiba-tiba saja muncul satu ide iseng. Ide tersebut lalu saya sampaikan kepada Andini. Dan Ia pun setuju.
Beberapa bulan terakhir, media sosial kami, saya dan Andini, cukup sering digempur foto orang nikah atau lamaran. Tidak lupa, kami pun acap mengamati gaya berfoto yang muncul. Bekal itulah yang kami pakai. Di sela foto wisuda, akhirnya Wiwi pun memotret saya dan Andini. Posenya sesuai dengan apa yang sering kami liat di media sosial. Singkatnya, foto a la orang selesai lamaran.
“Duh.. tapi lupa gak bawa cincin”, ujar Andini. Keluhan tersebut nyaris saja membuat hasrat iseng-yang-membara-bara ini menciut. Beruntung Andini punya referensi pose foto yang lebih banyak. Sehingga gaya foto menunjukkan cincin dapat diganti pose lainnya. Jepret! Jepret! Jepret! Sesi foto kami a la pasangan yang baru selesai lamaran pun berlangsung.
Keesokan harinya, Andini mengirim pesan WhatsApp (WA), “Ayo bikin Hoax pake futu ini”. Maksud “Futu” (Foto) di situ tidak lain adalah foto hasil jepretan Wiwi kemarin. Dalam foto tersebut, saya dan Andini duduk tegak di sebuah kursi. Tangan kami berpegangan dengan latar pepohonan. Pakaian yang kami kenakan pun nyambung. Saya mengenakan kemeja bermotif batik. Andini mengenakan kebaya dengan span bermotif batik pula. Dan motif batik kami sama. Klop.
Tidak perlu menunggu lama, saya pun setuju dengan ajakan Andini. Setelah itu, isi percakapan WA berisi strategi kami “Membangun Hoaks”. Kami sepakat untuk mengunggah foto a la lamaran di platform Instagram (IG). Kami juga bersepakat untuk berbagi tugas: Andini fokus “bermain” di IG dan Saya “bermain” di WA. Andini pun berinisiatif untuk menunda mengunggah foto dengan properti wisuda. Tujuannya tidak lain untuk menggiring teman kami di media sosial untuk fokus pada foto couple. Dan bukan pada foto wisuda. Setelah selesai semua misi pun dimulai.
Andini memposting sekitar 3 foto kami berdua. Semua foto tampak mesra. Ada foto dengan pose Andini menyandar di leher saya. Lalu ada pula foto saya sedang meletakkan tangan di bahu Andini. Sementara saya hanya memposting satu foto. Di situ kami sama-sama berdiri dan Andini tampak sedang merapikan poni rambut saya. Semua foto diunggah di kanal Instastory. Dan kami sama sekali tidak membubuhi caption teks pada semua postingan. Benar-benar murni sebuah foto.
Kami tidak menyangka dan sedikit menyesal. Postingan kami cukup mendapat respon. Misalnya pada akun IG Andini. Lebih dari 25 orang kawannya memberi tanggapan. Sebagian besar terkejut. Tidak sedikit pula yang marah karena merasa tidak diundang dan/atau diberi informasi. Sebagian lainnya merasa ikut senang dan ikhlas mengirim doa. Sementara pada akun IG saya, setidaknya ada 15an orang yang menanggapi. Bentuknya bermacam-macam. Ada yang sekadar mengirim emoji. Dan ada yang langsung berkomentar, lalu mengirim doa.
Belum lagi orang-orang yang merespon tidak langsung melalui platform IG. Namun justru dengan mengirim pesan langsung ke WA. Dalam konteks WA, hoaks ini berjalan lebih menarik. Pertama, saya mengirim pesan kepada beberapa kawan terlebih dahulu. Isinya ialah foto a la lamaran, lengkap dengan teks “mohon doa restunya Gan”. Kemudian hanya mengirim teks tanpa foto ke sebuah grup WA bernama “Arisan Akhir Zaman”. Dan pecah. Ada orang yang awalnya percaya lalu meragukan. Ada juga yang langsung percaya tanpa konfirmasi ulang. Dan ada yang sejak awal langsung menyangsikan kabar yang saya kirim.
Beberapa kawan saya memang tidak mudah percaya. Barangkali ini disebabkan oleh rekam jejak saya yang acap membuat hoaks. Bahkan ada pula yang sampai meminta saya menunjukkan cincin. Dia juga yang coba membuktikan dengan jalan memutar. Pertama dengan mengonfirmasi kabar tersebut kepada Andini. Seolah tidak puas, ia pun mengonfirmasi kepada paman saya. Tentu saja paman saya kaget. Ia pun menghubungi keluarga saya untuk bertanya kebenaran. Dari sini akhirnya hoaks di wilayah WA terbongkar.
Salah seorang kawan lain juga canggih. Pada awalnya Ia percaya. Lalu mulai bergerilya mencari informasi lain di media sosial. Ia memerika fitur “Tag” di IG Andini. Dan menemukan bahwa Andini memang baru saja wisuda. Sehingga Ia pun menarik simpulan bahwa itu bukan foto lamaran. Tapi foto biasa pascawisuda. Ketika saya mulai mengakui kebenaran simpulan tersebut, Ia pun berujar, “Apapun itu, membikin hoaks tetap nggak dibenarkan, Mas. Bikin geger grup (WA) soale”.
Sejak awal merilis konten hoaks, sebenarnya kami sama-sama kaget. Bahkan bingung harus menjawab apa. Tak ayal, Andini pun langsung mengajukan pertanyaan, “Mau jam berapa tutup warung?”. Maksudnya, akan sampai kapan kami membiarkan bola panas ini bergulir. Akhirnya kami pun kembali berembuk. Dan memutuskan akan “menutup warung” dengan membuat satu postingan klarifikasi. Pada momen ini, kami sempat berbeda pandangan. Andini ingin membuat dua bahan postingan klarifikasi. Sementara saya cenderung hanya ingin satu postingan. Akhirnya Andini membuat template postingannya dan saya bebas mengisinya. Dan kami mulai merilis postingan klarifikasi tersebut pada malam hari.
Kali ini saya dan Andini harus memodifikasi lirik Efek Rumah Kaca, “Hoaks bisa diciptakan”. Dan kami sudah mencoba itu. Meski dalam skala dan cakupan yang masih sederhana. Misalnya dalam konteks IG. Tanpa teks caption sekali pun, ternyata banyak orang yang terkecoh. Sebagian besar langsung memahami bahwa “makna” citra (foto) kami adalah lamaran. Ada yang menilainya dari pose dan kecocokan pakaian. Ada juga yang menilai dari tone foto yang digunakan. Karena itu, dalam konteks IG mungkin Barthes benar: kita telah sampai di fase society of spectacle.
Kondisi berbeda terjadi di konteks WA. Citra (teks) yang saya kirim tidak begitu saja diterima. Seseorang bahkan sampai harus mengajukan pertanyaan spesifik, “Itu lamaran aja atau udah ijab sekalian?”. Tidak puas dengan citra (teks), beberapa kawan bahkan meminta saya menunjukkan caption dalam bentuk foto. Mereka justru berpikir tanpa foto (caption), teks (citra) yang saya sampaikan hanya hoaks. Ini menunjukkan bahwa bayangan Barthes soal masyarakat citra atau tontonan memiliki konteks tertentu. Tidak bisa digeneralisir secara ugal-ugalan. Oleh sebab itu, dalam konteks WA, justru tulisan Hizkia Yosie benar belaka. Kita masih membutuhkan kerja-kerja penyematan caption.
Terlepas dari itu, saya dan Andini memiliki kecemasan tersendiri. Kami takut jika nanti proses lamaran benar terjadi, tidak ada orang yang percaya lagi. Sampai Andini pun harus berujar, “kalo pas beneran harus bikin prolog bahwa inimah bukan hoax kayak yg dulu”. Meski sebenarnya kami pun belum tahu itu akan terjadi kapan. Pasalnya, hal tersebut memang belum menjadi target capaian. Saat ini kami masih mengejar target untuk konsisten menerapkan rumus 6–3–1 dalam skema keuangan bersama. Maksudnya, 60% untuk tabungan; 30% untuk keperluan bersama; dan 10% untuk membeli produk jualan teman. Kalo ini sudah konsisten baru geser ke target capaian yang lain. Dan ini akan makin mungkin karena Andini telah wisuda. Begitulah.