“Hydropolitics”: Wawancara dengan Erik Swyngedouw

Bagas Yusuf Kausan
7 min readDec 30, 2023

--

Ditulis Sanaa Alimia di popularresistance.org pada 08 Mei 2023. Diterjemahkan untuk kepentingan belajar.

Kebutuhan Mendesak untuk Membawa Air ke arah The Commons melalui Aksi Politis

Sanaa Alimia (selanjutnya disingkat SA): Pada era urbanisasi dan krisis ekologis skala planet, dapatkah kita–dan haruskah kita–membicarakan tentang akses terhadap air sebagai suatu sumber daya yang ‘berdiri sendiri’?

Erik Swyngedouw (selanjutnya disingkat ES): Dalam pemikiran saya air bukan, dan tidak pernah menjadi, suatu isu yang berdiri sendiri. Selama lebih dari 20 atau 30 tahun terakhir, dalam konteks meningkatnya perhatian terkait akses terhadap air dalam hal kualitas, terutama di belahan bumi bagian-selatan (global south), telah terjadi banyak aktivisme yang luar biasa seputar air: akses, perjuangan, kepemilikan, dan lain-lain. Apa yang telah dikerjakan untuk mengubah secara sistematis konfigurasi akses terhadap air? Nyaris tidak ada.

Jelas bahwa akses dan distribusi air yang sangat terbatas dan tidak merata merupakan masalah utama. Ini adalah penyebab kematian dini nomor satu di dunia. Akses air yang buruk menjadi perhatian banyak aktivis. Sesuatu telah dilakukan. Namun secara politik, berfokus pada kekhususan masalah ini sangat menyesakkan. Pertanyaan kuncinya adalah mekanisme apa yang memproduksi kekurangan air ini? Pertanyaan ini akan segera menunjukkan bahwa kita tidak hanya berurusan dengan air tetapi juga CO2, iklim, pendidikan, kesehatan, infrastruktur — kita berurusan dengan berbagai macam infrastruktur yang tidak terdistribusi secara merata akibat relasi sosial, politik, dan relasi kekuasaan lainnya.

Saya berpendapat bahwa apa yang sangat dibutuhkan, terutama bagi para aktivis, adalah mengubah pandangan. Hal apa yang menjamin akses umum lebih baik ke segala macam hal? Ini adalah perjuangan politik untuk inklusi demokrasi, bukan sebatas partisipasi. Setiap pengalaman sejarah menunjukkan bahwa hanya melalui perjuangan berkelanjutan untuk inklusi politik demokratis — yang tidak pernah sempurna, tidak pernah ideal — yang dapat mengarah pada bentuk-bentuk perbaikan sistematis di seluruh dunia.

SA: Nampaknya ada penekanan yang begitu besar pada teknologi baru sebagai jalan untuk menjamin akses terhadap air. Misalnya, inisiatif untuk desalinasi air laut. Apa tanggapanmu tentang ini dan apa saja tantangannya?

ES: Sebaiknya mundur sejenak untuk menunjukkan betapa dahsyat kurangnya akses terhadap air. Kekurangan air tidak ada. Tentu saja ada kekurangan di level regional, tapi tidak untuk level global. Tidak butuh orang jenius untuk mendapatkan akses terhadap air atau memindahkannya dari A ke B. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan butuh biaya per orang sebesar 60–70 dollar per tahun untuk menyediakan infrastruktur air minum dan sanitasi bagi semua orang. Jumlah itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan, misalnya, biaya menalangi bank-bank pada tahun 2008.

Jadi, dalam konteks itulah kita harus melihat teknologi baru ini. Desalinasi air (laut) telah ada sejak lama. Anda tinggal merebus air asin, sesederhana itu. Namun, apa yang terjadi selama 20 sampai 30 tahun terakhir ini, adalah bahwa desalinasi semakin dipandang sebagai cara yang ramah lingkungan, aman, dan murah untuk mendapatkan pasokan air yang banyak. Air laut sangat berlimpah, tidak dimiliki oleh siapapun untuk saat ini, anda dapat menyedotnya sebanyak yang anda inginkan dan tidak perlu membayar untuk itu.

Namun tentu saja, desalinasi dalam skala besar tidak ramah lingkungan. Desalinasi butuh energi sangat besar. Benar bahwa biaya per unit untuk produksi energi menurun, tapi tetap saja sangat boros energi. Desalinasi juga butuh infrastruktur signifikan untuk menyedot air dari laut, yang mana hal itu berdampak buruk terhadap satwa liar dan ekologi, serta memproduksi limbah sisa yang sangat asin dan beracun. Tidak ada jalan untuk mendaur ulang limbah itu, sehingga sering berujung kembali ke laut atau disimpan di daratan, di dalam tong di suatu tempat.

Teknologi ini sering kali dipakai untuk meredakan atau, lebih tepatnya, mengalihkan perselisihan politik. Ambil contoh Spanyol. Akses dan distribusi air sangat sulit di bagian selatan Spanyol, yang mana umumnya orang-orang dari Catalonia atau Aragon mengatakan tidak ingin membagikan air bawah tanah mereka kepada orang-orang dari wilayah lain. Desalinasi adalah jawaban mudah. Mari pergi ke laut, mengambil air secara gratis, tidak ada kontestasi.

Semua hal ini termasuk dalam apa yang saya sebut sebagai “productionist logic’, di mana kita butuh mendapat lebih banyak untuk melanjutkan apa yang sudah kita lakukan. Hal ini sekaligus melanggengkan logic of reproduction yang tidak mempertimbangkan struktur permintaan: siapa yang memakainya, dalam kondisi apa, dan seterusnya. Hal itu membantu kita untuk lari dari kontradiksi permintaan yang ada.

SA: Belakangan ini, gerakan di kota-kota telah mendorong re-munisipalisasi air, untuk membawa air “kembali” menjadi milik publik. Apa saja tantangan aktivis dan komunitas yang mencoba melakukan itu?

ES: Seperti yang anda ketahui, dorongan untuk privatisasi muncul pada 1980-an dan menjadi makin dominan pada 1990-an. Segala hal telah diprivatisasi. Konsensus Washington, Bank Dunia, atau IMF (International Monetary Fund) semuanya menjadikan privatisasi sebagai syarat mendapatkan utang. Itu adalah cerita yang telah diketahui banyak orang.

Namun ternyata privatisasi air dan layanan lain lebih susah diwujudkan dibanding yang mereka bayangkan. Air merupakan sebuah ‘komoditas yang tidak kooperatif’. Susah untuk menghasilkan uang dari layanan privatisasi air tanpa adanya manajemen dan infrastruktur yang bagus, yang mana itu belum tentu terjadi di kasus belahan bumi bagian-selatan.

Sisi lain dari cerita tersebut adalah, tentu saja, perjuangan politik yang besar untuk melawan privatisasi. Ada begitu banyak perjuangan, beberapa berhasil dan beberapa tidak. Perjuangan yang berhasil adalah terang yang sama dengan kegagalan relatif privatisasi. Saya pikir setiap orang yang progresif harus sepenuhnya mendukung strategi dan perjuangan untuk re-munisipalisasi air dan layanan esensial lainnya — pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Namun demikian, saya berpikir bahwa kita harus menyadari pula ketegangan dan kontradiksi yang berhubungan dengan munisipalisasi dan nasionalisasi.

Ada banyak bukti bahwa layanan air milik pemerintah kota beroperasi layaknya organisasi privat. Mereka melakukan internasionalisasi, mereka berinvestasi di tempat lain. Saya mengetahui contoh klasik tentang perusahaan layanan air publik Seville dari kota Sevilla di Spanyol yang juga beroperasi sebagai investor dan operator internasional. Karena itu, tidak ada jaminan bahwa perusahaan layanan air yang dimiliki pemerintah kota akan beroperasi dengan jalan yang berbeda.

Beberapa (yang punya jalan berbeda) memang ada — saya tidak mengatakan semua sama. Hal ini tergantung pada konteks politik dan sosial dari tata kelola pemerintahan dan manajemen (masing-masing) kota. Bagaimana mereka melakukannya, dengan cara apa, dan dengan tujuan seperti apa? Hal ini tidak boleh dilupakan: di luar sana ada banyak pemerintahan lokal sayap-kanan juga! Tidak ada yang secara inheren progresif berkenaan re-munisipalisasi, walau, menurut saya, ini tetap langkah yang baik ke arah yang benar. Paling tidak, hal ini membuka ruang untuk perselisihan politik dan kontestasi demokratis. Namun tidak ada jaminan bahwa hal itu akan lebih baik secara mendasar.

Pada akhirnya, yang sama pentingnya dengan perjuangan untuk socialise dan municipalise air adalah gerakan de-komodifikasi air. Ini paling inti. Munisipalisasi atau nasionalisasi itu sendiri tidak menjamin de-komodifikasi. Faktanya, sebagian besar operator negara dan pemerintah kota beroperasi dalam konfigurasi air yang dikomodifikasi.

Apa yang saya maksud mengenai hal ini (de-komodifikasi) adalah mengeluarkan sumber daya air dari logika pasar. Dalam arti, ini bukan hanya tentang mengubah kepemilikan dari privat menjadi publik yang tidak mengubah sifat dari struktur komoditas tapi, sebagai gantinya, menjadikannya a commons.

A commons adalah sejenis tanah atau air yang keluar dari logika komoditas. Anda dapat memakainya pada kondisi tertentu, memobilisasi, mengelola, memelihara, dan anda dapat melakukan segala macam hal yang sesuai aturan, tapi anda tidak dapat membeli atau menjualnya. Dengan kata lain, ini tidak dapat dialienasikan atau diasingkan. Anda tidak dapat menyingkirkannya. Sementara sebuah komoditas justru sesuatu yang bisa anda singkirkan. Anda dapat memindahkan kepemilikan kepada seseorang atau sesuatu yang lain. Hal ini yang perlu diperhatikan oleh para aktivis. Tidak banyak perhatian yang diberikan terhadap pentingnya bukan hanya mengubah kepemilikan tapi (mengubah) karakter sosial air.

SA: Kontrol terhadap air, dan alam secara lebih umum, merupakan bagian penting dari cerita tentang modernisasi dan pembangunan. Bagaimana dirimu melihat hal ini di era krisis iklim? Para aktivis dari berbagai wilayah yang pernah mengalami momen banjir besar menyoroti bagaimana proyek-proyek infrastruktur skala besar yang dipimpin kolonial dan negara telah membuat tanah mereka semakin rentan terhadap banjir.

ES: Tentu saja, tidak ada yang namanya bencana alam. Hal ini merupakan konstruksi sosial dan ekologis, seperti yang kita lihat pada banyak kasus banjir dan kekeringan di belahan bumi bagian-selatan belakangan ini. Bencana tersebut diproduksi manusia, sering kali secara tidak sengaja, namun tetap saja buatan manusia.

Tidak ada pula yang namanya alam(iah). Setiap konfigurasi di tempat yang kita huni, dan infrastruktur air adalah contoh bagusnya, adalah sesuatu yang sosial, ekologis, dan fisik pada saat yang bersamaan. Tentu saja, bentuk kapitalis yang memproduksi konfigurasi ini menyebabkan masalah besar dan ada dua kemungkinan jawaban atau strategi yang muncul dari sini.

Di satu sisi, ada sesuatu yang saya sebut sebagai argumen Luddite. Kapitalisme terobsesi mentransformasi alam untuk mencukupi kebutuhannya dan perlakuan itu mengacaukan alam itu sendiri. Oleh sebab itu, argumennya adalah dalam upaya menghadapi konsekuensi negatif, kita perlu mengembalikan alam kepada pondasinya yang asli dan otentik. Seringkali kita mencari solusi ‘alami’ tersebut dari komunitas masyarakat adat.

Sekarang, saya bukan menolak cara hidup komunitas masyarakat adat yang berbeda, namun saya menolak jika cara-cara tersebut dipakai sebagai strategi potensial untuk mengubah konfigurasi sosial dan ekologis. Saya merasa hal itu merupakan fatamorgana yang berbahaya. Berkebalikan dengan itu, seharusnya pertanyaannya adalah konfigurasi sosial-ekologis semacam apa, infrastruktur apa yang hendak kita bangun dan pelihara? Ada kebutuhan mendesak untuk memikirkan bagaimana mempolitisasi imajinasi masa depan: apa yang kita inginkan? Dan apa konsekuensinya?

Lagi-lagi, saya harus kembali kepada apa yang saya katakan di awal mengenai air bahwa yang paling utama adalah politisasi. Siapa yang memutuskan jenis alam seperti apa yang hendak diproduksi? Dan apa saja konsekuensinya? Jenis lingkungan seperti apa yang diciptakan? Setiap lingkungan merupakan sebuah konstruksi politis. Lalu, pertanyaannya adalah: siapa yang membuat itu? Siapa yang punya hak untuk mengungkapkan apa yang terjadi dalam proses ini? Para aktivis terkadang hanya fokus satu isu saja, seperti akses air yang buruk, namun itu hanya satu simptom dari sebuah konfigurasi yang tidak demokratis, secara politik tidak egaliter, dan otokratis. Dan semua hal itu adalah apa yang mesti kita lawan!

Erik Swyngedouw merupakan profesor geografi di University of Manchester.

--

--

No responses yet